Pada tanggal 5 Juli 2025, Program Studi Teknik Arsitektur UIN Maulana Malik Ibrahim Malang mengadakan rangkaian kegiatan Summer Camp dan International Symposium yang berlangsung hingga 9 Juli 2025. Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara UIN Malang dan MIT ADT University, India, yang menghadirkan dosen, mahasiswa, serta praktisi untuk bersama-sama mengeksplorasi tema besar “Arsitektur untuk Kehidupan: Ruang, Ketahanan, dan Pemberdayaan Masyarakat Kota.”
Hari Pertama – Menyapa Kota, Menyerap Suasana. Dari sinilah, perjalanan Summer Camp dan Internasional Symposium dimulai. Sebuah kolaborasi lintas negara, lintas budaya, dan lintas nilai, yang bertujuan membentuk pemahaman baru tentang arsitektur yang lebih manusiawi, membumi, dan transformatif. Setibanya di Malang, 28 mahasiswa dan dosen MIT ADT University, India diajak menjelajahi Alun-alun Masjid Jami’— jantung kota tua yang sarat nilai. Sembari menikmati nasi kotak dan rebusan khas Indonesia, mereka mulai merasakan denyut sosial dan keberagaman budaya yang menyatu dalam ruang kota. Siangnya, peserta melakukan campus tour ke Kampus 3 UIN Malang, melihat fasilitas, gedung-gedung fakultas, dan merasakan suasana akademik kampus hijau UIN Malang.
Hari Kedua – menggambar kehidupan kampung di Kayutangan. Minggu pagi, 6 Juli, rombongan mahasiswa MIT ADT University, India bergerak ke Koridor Kayutangan Heritage, kawasan yang kini menjadi ikon transformasi kota berbasis pelestarian. Di sana, peserta melakukan urban sketching, observasi sosial, hingga mencatat detil interaksi ruang dan manusia. Di balik bangunan kolonial yang dicat ulang, mereka menangkap cerita warga yang hidup dalam transisi kota—antara tradisi dan modernitas.
Hari Ketiga – Internasional Symposium, Wacana yang Menggerakkan. Senin, 7 Juli 2025, menjadi puncak kegiatan Internasional Symposium bertema “Urban Narratives Across Cultures: Learning from the Kampong”.Tiga narasumber dari Indonesia dan India hadir menyampaikan gagasan dan pengalaman lapangan tentang bagaimana arsitektur bisa menjadi medium pemberdayaan, bukan sekadar konstruksi fisik.
Sesi 1 dibawakan oleh Dr. Farid Nazaruddin, M.T, sebagai Islamic Architecture Design and Education, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. beliau membuka simposium dengan risetnya tentang place attachment di permukiman tidak terencana di Kota Malang. Ia menegaskan bahwa warga bukan sekadar penghuni, tapi juga pencipta makna ruang. Aktivitas kolektif seperti penggunaan jalan bersama dan interaksi antar rumah menjadi kunci mempertahankan keterikatan terhadap tempat, meskipun secara administratif mereka dianggap “liar”.
“Kota tanpa rasa memiliki hanya akan menjadi tempat bertahan hidup, bukan tempat hidup,” ujarnya.
Sesi 2 dibawakan oleh Dr. Neeti Trivedi, B.Arch, M.Phil, Ph.D, sebagai Associate Professor, School of Architecture, MIT-ADT University, Pune – India. Dari India, beliau menghadirkan perspektif arsitektur kontekstual melalui proyek Ujasiyu, skylight murah dan efisien yang dirancang untuk rumah-rumah sempit di kawasan miskin kota Ahmedabad. Inovasi kecil ini mengubah kualitas hidup ribuan keluarga dengan pencahayaan alami dan ventilasi yang sehat.
“Desain tidak hanya menyentuh estetika, tapi harus menjawab kebutuhan hidup,” kata Dr. Neeti.
Menutup sesi, Dr. Fauzul Rizal Sutikno, Ph.D, Assistant Professor, Urban & Regional Planning Department, Universitas Brawijaya. memaparkan bagaimana komunitas informal seperti Kampung Warna-Warni dan Tridi mampu bertahan dari penggusuran berkat solidaritas sosial, kolaborasi dengan aktor eksternal, dan kekuatan narasi visual. Revitalisasi dilakukan bukan dengan menggusur, tapi dengan memperkuat apa yang sudah tumbuh.
“Kreativitas warga seringkali lebih strategis daripada kebijakan resmi,” pungkasnya.

Hari Keempat – Menelusuri Inovasi Warga di Glintung dan Samaan. Selasa, 8 Juli, peserta menyusuri dua kampung inspiratif: Glintung Go Green dan Palm Eco Green Village Samaan. Di Glintung, mereka mengamati bagaimana warga memanfaatkan pekarangan sempit untuk pertanian perkotaan dan pengelolaan air. Di Samaan, peserta menggambar dan memetakan relasi antara rumah, ruang terbuka, dan kebersamaan warga. Observasi ini membuka mata bahwa ruang kota tidak melulu ditentukan oleh masterplan, tetapi tumbuh dari nilai gotong royong, kekuatan sosial, dan pengetahuan lokal.


Hari Kelima – Pulang Membawa Gagasan Baru. Rabu pagi, 9 Juli, peserta bersiap kembali ke Surabaya. Ada lelah yang tertinggal, tapi lebih dari itu, ada pemahaman baru yang tumbuh: bahwa arsitektur adalah bahasa harapan, dan bahwa kolaborasi seperti ini bukan hanya soal lintas negara, tetapi lintas nilai dan empati.
Summer Camp dan Internasional Symposiumdirancang tidak hanya sebagai forum ilmiah, tetapi juga sebagai ruang pembelajaran lintas budaya yang menyatukan observasi lapangan, urban sketching, seminar akademik, hingga diskusi partisipatif. Dengan semangat pertukaran pengetahuan dan pengalaman, kegiatan ini menjadi momentum penting untuk menanamkan kesadaran bahwa arsitektur bukan hanya soal bentuk dan fungsi, melainkan tentang kehidupan dan keberlanjutan sosial.
“Kami datang bukan untuk mengajar atau belajar semata. Kami datang untuk mendengar, melihat, dan bertumbuh bersama ruang dan warganya.” — salah satu peserta MIT India.





